Populer di Medsos, Tren Hijrah Kurang Populis di Pesantren

Beberapa tahun belakangan hingga saat ini, pemeluk Islam Indonesia khususnya yang tinggal di wilayah perkotaan, pastinya tak asing dengan "tren hijrah" yang seliwar-seliwer di medsos.

Entah isi kepala siapa yang menciptakan semua ini, tren hijrah bisa dibilang cukup berhasil jika memang tujuannya adalah menjual busana muslim. Hal ini terbukti dengan menjamurnya olshop-olshop yang menawarkan busana muslim berbagai model bagi muda-mudi Nusantara.

Tren hijrah ini juga beriringan dengan berubah dratisnya gaya fashion kalangan artis di layar kaca dan teman-teman saya (terkhusus wanita), mungkin sebagian teman dari pembaca juga ada yang demikian. Penampilan yang awalnya seperti orang Indonesia kebanyakan, kini berpenampilan yang katanya syar'i. Tapi tak ada yang salah dengan itu semua.

Yang cukup membuat saya bingung sebenarnya bukan persoalan penampilan, namun lebih menjurus kepada pemikiran si dia yang ingin hijrah. Ya, rasa penasaran langsung membawa saya untuk mencari tahu langsung kenapa perubahan drastis itu terjadi. 

Hasil obrolan pun akhirnya membuat saya memiliki hipotesis bahwa dia-dia yang hijrah, dilatarbelakangi oleh keringnya spritualitas, yang kemudian ingin mendalami Islam. Karena kebanyakan orang-orang yang mengaku hijrah tak memiliki latar belakang pendidikan pondok pesantren. 

Dan kata hijrah kini sangat populer dikalangan anak muda perkotaan. Mungkin popularitas kata hijrah lah yang melatarbelakangi terselenggaranya "Hijrah Fest". Biasanya dalam festival ini, ada ustaz yang mengisi tausiyah, lalu dimeriahkan oleh cerita pengalaman artis-artis hijrah.

Seribu tahun lebih ke belakang, hijrah bermakna pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, karena di tempat semula terlalu berbahaya jika harus terus menerus didiami. Kasus warga Mekah pada masa Rasulullah, umat Islam mengalami tekanan yang luar biasa padahal mereka sangat cinta dengan tanah airnya, solusi hijrah pun menjadi keputusan. Hijrah dalam kasus di atas artinya berpindah secara fisik.

Makna hijrah mengalami perluasan makna seiring dengan perkembangan zaman. Di Indonesia sekitar 1980-an, hijrah dimaknai berpindah dari perilaku buruk ke perilaku yang baik. Artiannya, hijrah adalah pindah secara moralitas tingkah laku. Tetapi hijrah model begini kurang populis, sebab ukuran dari moral baik juga masih menjadi perdebatan. Misal, sedekah adalah hal baik dan tak ada perdebatan tentang itu. Tapi bagaimana kalau ada yang bersedekah dari hasil curian? Kira-kira begitulah. Dan akhirnya sampailah kita dengan "tren hijrah" masa kini yang sangat populer di media.

Dan yang cukup janggal di pikiran saya, jika alasan seseorang yang mengaku hijrah adalah ingin memperdalam keagamaan, mengapa tren ini kurang populis di lingkungan pesantren? Padahal para santri tersebut jelas belajar soal Islam, mulai dari belajar alif hingga kajian soal tafsir. 

Di dalam buku "Penakluk Badai" yang mengisahkan biografi ulama kharismatik KH Hasyim Asy'ari, proses belajar mendalami agama yang dilakukan kakek Gus Dur ini, dilakukan mulai dari pondok ke pondok, hingga menuntut ilmu di Tanah Suci. Dan para alim ulama meyakini sanad keilmuan KH Hasyim Asy'ari sampai ke Rasulullah. Proses belajar ini pun tidak disebut sebagai hijrah, melainkan rihlah. 

Ditambah lagi kyai-kyai ponpes jarang mengangkat tema hijrah dalam pengajiannya. Berbeda dengan ustaz-ustaz ngepop masa kini yang sering 'ngaji' soal hijrah, sebut saja Hanan Attaki, Felix Siauw dan Evie  Effendi.

Atau mungkin ustaz dan kyai ponpes malas membahas hijrah karena kebanyakan dari kalangan sarungan tersebut adalah ahli hisap (perokok aktif)? Kan "tren hijrah" juga ngajak laki-laki berhenti merokok. Apa hal-hal ini penyebab kurang populisnya "tren hijrah" di pesantren?

Tak semulus yang terbayang, di tengah tren tersebut, hijrahnya seseorang kadang mendapatkan pandangan miring, medsos pun menjadi sarana caci maki paling produktif. Postingan-postingan bergenre curhat membuktikan bahwa hijrah tak semulus yang dibayangkan.

Terlepas apapun itu, yang jelas hijrah tak bisa dimaknai jika hanya sekadar urusan penampilan dan menutup aurat. Karena penampilan yang katanya syar'i hanya bisa menutupi aurat permukaan tubuh, hati yang kotor pun harus ditutupi dengan ke-syar'i-an yang tak mungkin bisa didapat dari olshop-olshop favorit. 

Penulis: Agis Dwi Prakoso

Posting Komentar

0 Komentar