Intip Sistem Pendidikan di 3 Benua, Indonesia Bukan Apa-apa

Kabarnya, pada masa kolonial Londo (Belanda bagi lidah orang Jawa), pernah terjadi perdebatan seru di dalam tubuh Sarekat Islam. Ya, organisasi terbesar kala itu yang dipimpin oleh 'Raja Jawa Tanpa Mahkota' HOS Cokroaminoto. Perdebatan melibatkan Soekarno (Presiden pertama Indonesia) dan Semaun CS (tokoh-tokoh PKI)  saat masih tergabung di Sarekat Islam.

Kira-kira, pada saat itu Sarekat Islam sedang membahas prioritas program. Di dalam forum, Soekarno mengeluarkan gagasan mengutamakan pendidikan rakyat, dan Semaun CS mengutamakan ekonomi rakyat. Singkat cerita, ide dan argumentasi Soekarno lah yang memenangkan perdebatan itu.

Dalam kasus di atas, salah satu dari pendiri bangsa Indonesia lebih mendahulukan pendidikan. Sebab tuan-tuan tanah pun masih bisa menjadi 'budak' Londo karena tak berpendidikan.

Pertanyaannya, bagaimana pendidikan Indonesia hari ini? Sudah cukup mendidik kah? Atau justru malah mencetak anak bangsa memiliki mental penguasa yang suka menindas?

Mari kita bandingkan upaya pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dengan negara-negara yang dianggap memiliki sistem pendidikan terbaik. Sebab, negara-negara maju pasti memiliki sistem pendidikan yang baik. Begitu juga dengan negara-negara yang dahulu berada dalam kondisi semrawut, mulai terangkat derajatnya seiring dengan pembenahan pendidikannya.

Yang pertama adalah Finlandia. Sistem pendidikan di negara "seribu danau" ini cukup unik. Pemerintah Finlandia menggratiskan biaya pendidikan, biaya pendidikan sekolah swasta ditekan agar tak mahal. Gratis tak hanya sebatas itu, biaya transportasi dan makan siang juga ditanggung oleh pemerintah.

Sekolah pun lebih bersifat informal lantaran tak adanya seragam dan ujian nasional. Pemerintah juga memilih orang-orang terbaik untuk menjadi guru dan menerapkan kecintaan membaca kepada warganya sejak dini. Bahkan guru diberikan gaji yang tinggi, belum lagi tunjangan lainnya.

Hal tersebut sangat jauh dengan sistem pendidikan Indonesia meskipun pemerintah sudah menggratiskan pendidikan bagi sekolah negeri. Tapi untuk sekolah swasta? Terserah saja deh kalau mau mahal. Lalu apa guru-guru kita adalah yang terbaik dan sudah sejahtera? Boro-boro! Indonesia selalu bermasalah akan hal itu, terbukti Hardiknas ramai dengan tuntutan naikkan honorarium dan kesejahteraan guru. Miris!

Yang kedua adalah Kanada. Negeri "pecahan es" ini dikenal memiliki standar kualitas pendidikan tinggi. Kanada mengeluarkan anggaran yang besar setiap tahunnya untuk dana pendidikan. Negara bagian Amerika Utara ini juga mewajibkan setiap daerah bertanggung jawab atas sistem pendidikannya sendiri. Stabilitas politik di negara ini juga mendukung majunya pendidikan.

Indonesia yang tergolong negara berflower, menggelontorkan 20 persen APBN setiap tahunnya hanya untuk pendidikan. Pada tahun 2018, biaya untuk pendidikan menyentuh angka Rp 444 triliun lebih. Namun bagaimana penyaluran dan pelaksanaannya? Apakah sudah cukup jelas dan transparan? Kita anggap saja cukup jelas, jelas sekali kasus korupsi anggaran pendidikan yang ditangani KPK. Sikap politik kekanak-kanakan pun sering kita temui di negeri ini.

Kemudian Korea Selatan. Negara yang mengkontaminasi masyarakat Indonesia dengan trend K-Pop ini, memanfaatkan teknologi sebagai penunjang utama dalam perkembangan pendidikan. Terbukti dengan Korea Selatan menjadi negara pertama yang menyediakan layanan akses internet berkecepatan tinggi untuk siswa-siswi di sekolah dasar, menengah, dan atas.

Di negara plus enam dua, jangankan internet berkecepatan tinggi, listrik saja belum merata. Bahkan, beberapa daerah di Papua sengaja diperlambat dan diputuskan internetnya oleh pemerintah. Meski alasannya menanggulangi berita hoax, tetap saja pemerintah tak berpikir panjang. Sebab rumah sakit dan lembaga pelayanan lain, butuh akses internet untuk melayani masyarakat.

Begitulah realita di Indonesia. Apa-apa yang ada di belakang realita tersebut, hanya menjadi diskusi tanpa akhiran eksekusi. Biaya pendidikan yang mahal membuat pola pikir pelajar menjadi pragmatis. Apa yang ia bayar saat belajar, harus kembali lebih dari apa yang ia keluarkan di hari-hari kemudian.

Penulis: Agis Dwi Prakoso

Posting Komentar

0 Komentar