Belajar "Memanusiakan Manusia" dari Sebungkus Indomie


"Memanusiakan manusia". Sebuah konsep yang mungkin paling sering kita baca dan kita dengar belakangan ini. Konsep ideal yang bisa masuk ke aspek apapun.

Sejatinya, setiap manusia dapat mengaplikasikan konsep tersebut. Sebuah sikap dan tindakan yang memegang teguh asas keadilan. Tanpa pernah membedakan ras, suku, etnis, agama dan hal lainnya, kita semua bisa menjadi manusia yang humanis.

Dalam tulisan ini, penulis enggak bakalan membahas konsep tersebut dalam aspek sosial. Ngomongin "memanusiakan manusia" dalam segi pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sistem pemerintahan, barangkali sudah banyak yang bahas dengan narasi yang tajam. Maka dari itu, penulis bahas yang ringan-ringan saja, yang dekat dengan kita.

Oke, masuk pembahasan.

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada Rabu (27/01/2021) pukul 14:55 WIB, Nunuk Nuraini meninggal dunia. Pencipta varian rasa indomie yang begitu memanusiakan manusia tersebut, tutup usia pada umur 59 tahun.

Dibanding dengan ribuan politikus yang sering meneriakan "memanusiakan manusia", penulis kira sosok Nunuk Nuraini lebih segar dibahas sembari rebahan santai. Secara sadar ataupun tidak, lewat racikannya, kita tahu bahwa konsep memanusiakan manusia itu sederhana. Bukan berada di dalam undang-undang, tidak juga di dalam kebijakan, namun konsep memanusiakan manusia dapat kita temui di dalam sebungkus indomie.

Sampai sekarang, penulis dan mungkin sebagian pembaca masih bergantung pada indomie. Malas masak, indomie. Lapar tengah malam, indomie. Akhir bulan juga indomie. Bahkan, sepiring nasi plus intel (indomie telor) pernah penulis santap berjamaah dengan kawan kost ketika perut keroncongan.

Nunuk Nuraini juga memaklumi perbedaan selera lidah manusia. Entah pecinta mi kuah atau goreng, kita masih bisa memilih rasa apa yang dibutuhkan guna memanjakan lidah dan perut.

Dari sebungkus indomie, kita juga jadi sering bersyukur. Tak perlu merogoh kocek dalam-dalam, punya duit Rp 5 ribu pun kita masih bisa makan, bahkan uangnya masih ada kembalian. Tidak membedakan si kaya dan si miskin, dengan harga yang sama, kita dapat cita rasa yang sama pula.

"Untung ada indomie," kata kita.

Selama bekerja di 'dapur' PT Indofood CBP hampir 30 tahun, mungkin insinyur lulusan Universitas Padjadjaran (Unpad) tersebut tak pernah berpikir bakal seperti ini. Racikannya dicintai banyak orang. Cita rasa "memanusikan manusia" Nunuk Nuraini tak hanya beredar di lidah orang Indonesia, sebagian manusia di belahan bumi lain juga telah merasakan cita rasa surgawi hasil tangan si empu.

Setidaknya kita perlu berterimakasih dan mendoakan almarhumah Nunuk Nuraini, agar karya ciptanya menjadi amal jariyah yang tak terputus. Dari tangannya kita pernah bersyukur. Lewat racikannya kita tahu, bahwa "memanusiakan manusia" itu bisa dilakukan dengan cara yang begitu sederhana. Bukan sekadar slogan tanpa pengaplikasian. Bukan narasi teoritis yang membosankan.

Posting Komentar

0 Komentar