Kasus Imam Besar tak Lebih Penting dari Kenaikan Cukai Rokok


Di negara demokrasi macam Indonesia begini, masyarakat tentunya paham bahwa dirinya secara individu bisa bersuara dan mengaspirasikan apa saja. Hal ini tentunya sejalan dengan kebebasan berekspresi yang menjadi 'ideologi' kebanyakan orang di era modernisasi seperti sekarang.

Media sosial seperti wasap, Igeh, pesbuk dan tuiter, biasanya menjadi sarana untuk menyuarakan keresahan bagi manusia Indonesia. Mulai dari urusan yang sifatnya umum seperti pro kontra kasus imam besar, sampai yang paling individu seperti postingan instagram saat mengahadiri resepsi pernikahan mantan.

Ya begitu, semuanya bebas-bebas aja. Tapi ingat, tetap harus waspada dan mematuhi protokol kesehatan. Secara corona bisa nemplok dimana saja dan kapan saja.

Biar nggak nyambung yang penting tetap fokus. Wkwkwkwk. Oke kita lanjut.

Ngomongin keresahan, terkadang gue resah dengan 'ideologi kebebasan berekspresi' yang banyak dianut masyarakat Indonesia. Kebanyakan masyarakat paham cara berpendapat dan menanggapi sebuah persoalan, namun banyak juga yang tidak paham persoalan apa yang lebih penting untuk ditanggapi.

Baru-baru ini misalnya, media ramai memberitakan kasus si imam besar karena melanggar protokol kesehatan di masa pandemi. Pro kontra netizen tak bisa dielakkan. Pihak pendukung si imam besar menyerang institusi Polri, begitupun sebaliknya. Polri juga sebaiknya tegas dong, banyak kok yang melanggar prokes tapi enggak ditindak.

Kemudian media-media kegirangan dengan ulah warganet. Haikal Hassan yang dikenal dekat dengan si imam besar, karena mengucapakan selamat ulang tahun JNE ke-30, berbuntut tagar #BoikotJNE di jagad dunia maya. Semua kok disangkut-sangkutin sihh.

Penulis tidak mengatakan bahwa berita-berita tersebut adalah bagian dari agenda perselingkuhan media dan pemerintah untuk menutupi isu dari masalah yang lebih genting. Tapi bisa jadi, karena ada masalah yang bobotnya menurut gue lebih layak dibahas.

Contoh saja kasus pembakaran hutan di Boven Digoel, Merauke yang dialihfungsikan sebagai lahan kelapa sawit. Tanah adat orang asli Papua (OAP) hanya dihargai 100 ribu rupiah per hektare. Belum lagi, ada indikasi bahwa perusahaan Korindo asal Korea Selatan tersebut sengaja membakar lahan seluas Seoul (ibukota Korsel) itu, dan memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Memangnya cukup dengan tagar #Savepapuaforest.

Terus terang gue yang tinggal di Sumatera nggak begitu paham dengan jalan cerita kasus ini. Sebab warganet latah dengan isu baru yang sebenarnya enggak lebih bermutu. Ini padahal lebih kompleks dan serius. Tolong diperhatikan.

Masih ada kasus yang juga lebih penting, khususnya bagi gue dan orang yang sejenis gue. Tolonglah kawan-kawan yang aktif di dunia maya protes kebijakan ini. Cukai hasil tembakau/cukai rokok resmi diumumkan naik sebesar 12,5 persen. Dan kebijakan ini bakal efektif pada Februari 2021 mendatang.

Meski enggak semua harga rokok naik, tapi kebijakan ini akan berdampak pada harga pasar. Bayangkan saja, biasanya saat ke tongkrongan kita banting rokok merek Gudang Garam, Marlboro, Sampoerna, tahun depan kita enggak bisa pamer-pameran rokok karena enggak ada yang dibanting. Gimana mau dibanting kalau harganya mahal, bakal tambah banyak manusia yang setahanan rokok. Dan jelas itu bakal berdampak pada semakin buruknya hubungan sosial dan potensi konflik horizontal.

Jadi, mohon bijak dalam menanggapi isu. Semoga para pembaca pun bisa bijak dalam membaca tulisan yang serba kekurangan ini.

Posting Komentar

0 Komentar